Desa Kalimeneng

Pada jaman Mataram saat sedang gigih pertempuran Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda, salah satu pertempurannya dipimpin oleh Kyai Abdul Jamal dan Tumenggung Wirojoyo. Pertempuran terjadi di Desa Keongan, yang berkembang sampai Desa Samping. Beberapa pahlawan gugur dan dimakamkan di Desa Samping juga. Nama Keongan diambil dari peristiwa banyaknya pahlawan yang gugur dengan dipenggal kepalanya. berserakan seperti siput (keong). Desa Keongan sekarang berganti nama menjadi Desa Rejosari. Pertempuran tetap berlangsung seru, dan terus berkembang ke daerah-daerah sekitar, salah satunya ke sebelah Timut. Karena dijaga dengan rapat (Kerep) oleh warga , maka Belanda tidak dapat masuk ke Desa Kerep.

Dari keadaan yang demikian pertempuran sudah tidak dapat berkembang sampai desa sebelah Utaranya. Desa sebelah Utara tersebut adalah Desa Kalimeneng, yang berarti sudah tidak lagi terjadi pertempuran (dari kata diam atau meneng). Dari kata itulah kemudian desa tersebut dinamakan DESA KALIMENENG.

Salah satu peninggalan Belanda antara lain berupa Bendungan Kalimeneng, dibangun pada tahun 1839 M, sehingga bagian bawah bendungan tersebut aliran sungainya menjadi meneng/ tenang. Bendungan tersebut kini sudah rusak, dan telah diganti dengan Bendungan Kalimeneng oleh Pemerintah Republik Indonesia yang diresmikan pada tahun 1976 M. Data lain adalah ditemukan tulisan di Bedug Masjid Al-Iman Kalimeneng bahwa masjid tersebut dibangun pada tahun 1872 M yang tertulis dengan huruf Arab.

Di Desa Kalimeneng juga memiliki petilasan - petilasan yang sering diziarahi warga adalah :
Mbah Kolojonggo
Mbah Iman Senawi
Mbah Ali Muksin
Mbah Jayengkoro
Nyi Dewi Sosrokusumo
Di Desa Kalimeneng juga memiliki petilasan - petilasan yang sering diziarahi